sumber foto : https://id.pngtree.com/
Kalau boleh jujur, saya merasakan
fenomena mudik baru setelah bekerja. Karena sejak lahir hingga lulus kuliah
saya tinggal Bersama orang tua. Kebetulan rumah orang tua berada satu kota
dengan rumah eyang. Jadi momen lebaran masa kecil saya dihabiskan dengan
healing di tempat wisata yang sudah bisa dipastikan penuh sesak selama libur
lebaran.
Sejak saya diterima kerja dan
ditempatkan di kota yang berbeda dengan orang tua dan keluarga besar, dari
sinilah cerita mudik dimulai. Belum lagi sekarang sudah ada suami dan anak yang
harus ikut mudik. Alhamdulillah saya ketemu suami yang berasal dari kota yang
sama dengan kota kelahiran saya.
Satu hal yang selalu saya
prioritaskan untuk mudik baik ketika belum menikah sampai saat ini adalah tiket
mudik dan balik. Sejak dahulu saya selalu memilih kereta api untuk transportasi
mudik. Karena dengan menggunakan kereta api lama perjalanan yang harus ditempuh
hanya dua jam saja. Berbeda ketika menggunakan armada bus maupun mobil.
Meskipun sudah lewat tol, tapi lama perjalanan bisa memakan waktu 3,5 sampai 4
jam. Belum lagi, ketika tidak lewat tol, bisa memakan waktu 5 sampai 6 jam
perjalanan untuk sampai di kota kelahiran. Sungguh sangat menghemat waktu
ketika saya memilih kereta api.
Akan tetapi, perjuangan
mendapatkan tiket kereta tidak segampang tiket bus maupun naek kendaraan
pribadi. Harus menghitung hari dan jam keberangkatan agar sesuai dengan jam
masuk kantor. Dan saya harus pesan sebelum bulan puasa tiba. Demi nyamannya,
tiket yang saya pesan langsung tiket pulang pergi.
Masalah transportasi sudah beres,
maka tinggal menikmati perjalanan mudik Bersama suami dan anak. Setelah tiba di
stasiun tujuan yang hanya berjarak 15 menit dari rumah orang tua, cerita
selanjutnya adalah kegiatan di rumah mamah.
Sebenarnya ada kegiatan yang
sudah hilang semenjak nenek meninggal. Yaitu membuat apem, untuk kegiatan
menyambut bulan suci Ramadhan. Apem dibuat sendiri oleh mamah, dan adik-adiknya
atas komando dari nenek. Mulai dari membuat adonan apem hingga mencetaknya,
semuanya atas komando nenek. Saya yang masih SD saat itu bertugas mengantarkan
apem yang telah matang ke tetangga. Namun saat ini, mamah lebih memilih pesan
alias minta tolong tetangga untuk membuatnya.
Sampai saat ini, mamah berusaha
mengikuti tradisi nenek selama lebaran. Salah satunya adalah menu yang
dihidangkan selama lebaran. Yang tidak boleh ketinggalan adalah lontong atau
kupat, sayur opor, sambel goreng hati dan daging gelinding, telur bumbu kecap, serta
kerupuk. Menu ini selain dihidangkan di rumah sebagai menu keluarga, tidak lupa
dibagikan juga ke tetangga sekitar yang berbeda agama. Hal itu sudah dilakukan
nenek sejak dahulu kala. Untuk menjaga kerukunan antar tetangga, alasan nenek
kala itu.
Dan tugas saya dan mamah adalah
belanja hati ayam dan daging giling di supermarket dekat rumah. Sampai hari ini
tugas itu masih melekat kepada saya. Selain belanja tugas saya berikutnya
adalah ikut mengantar semua menu tersebut kepada tetangga yang ditunjuk. Sekali
lagi, tugas tersebut masih saya kerjakan.
Kegiatan sakral pada saat lebaran
di keluarga saya adalah sungkeman. Sungguh sangat terasa keharuan pada acara
ini. Mamah sebagai orang tua duduk di kursi, lalu kami sebagai anak cucunya
melakukan sungkem dan meminta maaf atas semua kesalahan selama ini. Sudah bisa
dipastikan tetesan air mata penyesalan selalu muncul. Apalagi saya merasakan
mulai berkurangnya anggota keluarga seiring dengan usia yang semakin menua.
Sungguh, keseruan rutin tiap
tahun yang selalu saya rindukan…
No comments:
Post a Comment